Sumenep I REALITAS — Sebuah insiden kekerasan yang melibatkan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di tengah perayaan pernikahan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep, telah memicu perdebatan sengit mengenai batas-batas tanggung jawab hukum dan justifikasi pembelaan diri. Peristiwa yang mengakibatkan kerugian material mencapai puluhan juta rupiah ini, kini berimplikasi pada potensi tuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penanganan situasi darurat tersebut.
Berdasarkan kronologi yang dihimpun, Sahwito, seorang individu dengan riwayat gangguan jiwa yang terdokumentasi, secara tiba-tiba melakukan tindakan destruktif di lokasi pesta pernikahan. Reaksi spontan dari masyarakat setempat untuk mengamankan situasi, yang melibatkan tindakan fisik terhadap Sahwito, kini berbalik menjadi sorotan yuridis. Istri Sahwito telah melayangkan laporan kepada pihak kepolisian atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang tuan rumah, Tolak Edi, yang disinyalir berupaya menyelamatkan adiknya dari ancaman fisik Sahwito.
Implikasi hukum dari laporan ini sangat krusial. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: dapatkah tindakan masyarakat, khususnya Tolak Edi, dikategorikan sebagai pembelaan diri yang sah menurut koridor hukum pidana? Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang pembelaan terpaksa (noodweer), yang membenarkan tindakan seseorang dalam membela diri atau orang lain dari serangan melawan hukum yang mengancam secara nyata. Namun, interpretasi dan penerapan pasal ini menjadi kompleks mengingat status kejiwaan Sahwito.
Dalam konteks hukum pidana, penentuan kapasitas mental (toerekeningsvatbaarheid) seorang pelaku tindak pidana merupakan elemen esensial dalam menetapkan pertanggungjawaban hukum. Jika hasil pemeriksaan psikiatris menunjukkan bahwa Sahwito tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya akibat gangguan jiwanya (ontoerekeningsvatbaar), maka sanksi pidana sebagaimana berlaku pada umumnya tidak dapat dikenakan. Namun, tindakan pengamanan dan penanganan yang dilakukan oleh masyarakat juga tidak serta merta bebas dari pengawasan hukum. Jika terbukti tindakan tersebut melampaui batas proporsionalitas dan tidak dapat dikategorikan sebagai pembelaan diri yang wajar, konsekuensi hukum dapat menanti.
Ironisnya, upaya mediasi yang diinisiasi oleh pihak keluarga tuan rumah, Sukilan, yang bahkan menawarkan kompensasi materiil sebesar empat juta rupiah sebagai bentuk permohonan maaf dan itikad baik, justru menemui penolakan dari pihak pelapor. Lebih lanjut, 27/4/25 10:45 muncul indikasi adanya permintaan kompensasi yang jauh lebih besar, mencapai tiga puluh juta rupiah, sebagaimana diungkapkan oleh Kapolsek Nonggunong, Iptu M. N. Komar, berdasarkan informasi yang diterimanya.
Sikap Kapolsek Nonggunong yang terkesan menghindari mediasi di kantor kepolisian dengan alasan sensitivitas terhadap pihak pelapor, justru menimbulkan pertanyaan mengenai profesionalitas dan netralitas aparat penegak hukum dalam menangani perkara ini. Pernyataan Kapolsek yang mengarahkan penyelesaian di luar kantor polisi, alih-alih memfasilitasi dialog konstruktif di lingkungan yang terkontrol, berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan aspek psikologis dan sosial yang kompleks.
Kasus ini menjadi yurisprudensi menarik mengenai bagaimana sistem hukum merespons tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu dengan gangguan jiwa, serta bagaimana batasan pembelaan diri diinterpretasikan dalam konteks tersebut. Masyarakat menanti penanganan perkara ini secara transparan, adil, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang kuat, dengan mempertimbangkan secara saksama aspek kejiwaan pelaku dan proporsionalitas tindakan pihak yang berupaya mengamankan situasi. Perkembangan penyelidikan dan potensi proses peradilan dalam beberapa hari mendatang dipastikan akan menjadi perhatian publik yang signifikan.
Mengakhiri rangkaian peristiwa yang sarat akan kompleksitas hukum dan emosi ini, keluhan pihak keluarga Sukilan mengenai dugaan disparitas dalam penanganan perkara oleh Polsek Nonggunong menambah lapisan ironi yang mendalam. Persepsi akan prioritas penanganan yang asimetris, di mana laporan dari pihak tuan rumah terkesan terabaikan dibandingkan dengan respons terhadap keluarga Sahwito, memicu gelombang ketidakpercayaan terhadap proses penegakan hukum di tingkat lokal.
Rencana keluarga Sukilan untuk mengajukan laporan ke Propam Polda Jawa Timur merupakan manifestasi dari upaya mencari keadilan yang substantif dan menghindari praktik tebang pilih yang mereka rasakan. Ketidakmampuan atau keengganan pihak kepolisian sektor untuk menghadirkan ahli kejiwaan demi mengurai aspek krusial dalam kasus yang melibatkan ODGJ, atau untuk menyerahkan Sahwito kepada institusi kesehatan mental yang kompeten sesuai prosedur, semakin memperkuat narasi ketidakprofesionalan dan potensi pelanggaran prosedur standar operasional.
Langkah selanjutnya dari keluarga Sukilan untuk mencari keadilan di tingkat yang lebih tinggi akan menjadi ujian krusial bagi integritas dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus sensitif yang melibatkan dimensi psikologis dan keadilan yang setara bagi seluruh warga negara.(R. M Hendra)