Nostalgia Tiga Kuli Tinta: Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku Sebagai Wartawan
Oleh : Adnan NS
Untuk mengisi kekosongan sore itu Saya mengajak Saipullah Wartawan Indonesia Global Net Bandung untuk menemani Saya bertandang ke rumah pasangan wartawan sepuh, di Kompleks Perumahan Wartawan, Bale Endah.
MEDIAREALITAS – Kali ini kebetulan Saya tidak mendapat undangan untuk menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) yang dipusatkan di Medan.
Untuk mengisi kekosongan sore itu Saya mengajak Saipullah Wartawan Indonesia Global Net Bandung untuk menemani Saya bertandang ke rumah pasangan wartawan sepuh, di Kompleks Perumahan Wartawan, Bale Endah.
Di tengah perjalanan Kota Kembang ini diguyur hujan. Kami buru-buru berlindung di bawah tol Buah Batu. Sepeda motor tua jenis astrea kami tinggalkan begitu saja, sembari memesan dua cangkir kopi dan teh.
Pada pojok yang gelap itu terlihat tiga sosok pria Sumatera asal Tapanuli Utara sedang asyik berdiskusi tentang permainan judi online. Mereka mengaku sebagai kondektur dan supir angkot kota ini.
Begitu hujan reda Kami melanjutkan perjalan berzig-zak untuk meloloskan dari jebakan kemacetan. Bandung sekarang sekarang sangat berbeda dengan Bandung.1985-an jalan menuju Bale Endah sepi amat.Kini kepadatan jalanannya sudah merubah ke bahu jalan.
Tiba di rumah dipenuhi anggrek bergelantungan Jalan Sipatahunan 36 menjelang Magrib. Nama Sipanahunan ini adalah surat kabar zaman baheula. Semua nama jalan dikompleks wartawan ini ditambalkan sesuai nama surat kabar yang terbit di Jabar.
Malam itu Kami larut dalam obrolan panjang, hampir lima jam lebih.Obrolan Kami sempat terjeda sekejap saat shalat Magrib berlangsung pada Sabtu 11 Februari 2023 malam.
Semakin larut malam pembicaraan bernuansa nostalgia itu semakin asyik.Kunjungan silaturrahmi ini sekaligus menghibur pasangan tua yang sudah renta ini. Apalagi ini masih dalam suasana peringatan HPN.
Banyak hal menarik dikisahkan pasangan Wartawan ini. Awal 1960-an masih dalam tahun pergolokan di dalam negeri, yang bisa menginjeksi semangan kewartawan masa kini
Catatan ringan di bawah ini sangat berharga dan bagus untuk disimak.Konon ditorehnya masih dalam suasana memperingati bulan kelahiran pers di bumi persada ini.
Siapakah gerangan mereka ini? Pria berbadan kekar adalah Hamzah Ibrahim kelahiran 12 Juni 1939 di Dataran Tinggi Gayo, Aceh.Dia adalah seorang wartawan beken, kini hanya mampu mengitari sudut-sudut ruang rumahnya saja, sejak mengalami gangguan penglihatan pada matanya.
Pasangan setia di sebelahnya malam itu tidak lain, adalah seorang wartawati berkulit putih bertubuh imut, masih gesit sempat menghidangkan nangka segar ke hadapan.”Dipersilakan, ini nangka dari batang enak sekali”, ujarnya berkali-kali.
Sebelumnya kami menolak disuguhkan dinner malam itu. Usia isterinya ini sudah beranjak 78 tahun. Kedua mereka ini adalah sama-sama berprofesi sebagai wartawan perang pada awal 60-an.
Pasangan wartawan ini lebih banyak berkiprah di Bumi Parahyangan, selain pernah dikirim ke Maluku dan Sulawesi bersama sejumlah wartawan perang lainnya.
Awalnya terlibat dalam liputan perang di penghujung Pergolakan DI/TII hingga memasuki era konfrontasi Indonesia- Malaysia 1963-1966 dan disusul lagi masa Gestapu (Gerakan 30 September) PKI.
Pada masa itu kedua insan pers berlainan jenis ini belum terlilit tali pernikahan, walau mereka sudah saling curi pandang dan saling berjalan bersama dalam liputan persnya.
Pria kelahiran, Kuta Lintang Aceh Tengah ini menceritakan kisah perjalanan hidupnya sebagai wartawan dimulai sejak 1962.Kala itu, tugas pertamanya sebagai korektor pada Harian Karya terbitan Sore di Bandung.
Surat kabar ini di bawah asuhan A.K Jakobi, tokoh asal Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh.Media tempat kerjanya masa itu masih mengandalkan mesin hand press. Aksara terbuat dari bahan timah.
Katanya, memasuki bulan keenam baru dipercayaan sebagai wartawan bidang Hankam, hukum dan kriminal.
Produk jurnalistik perdana tanpa gambar yang dihasilkan itu berjudul “BANDUNG MEMBARA”.Kebetulan pagi itu Hamzah sedang mengitari kota Bandung dengan berjalan kaki.Matanya menangkap kepulan asap hitam pekan di udara.
Dia menapaki lorong mencari sumber apinya.Alangkah terkejut begitu aksi demo anti China sedang berlangsung. Aksinya semakin bringas disusul pembakaran sejumlah sepeda motor, mobil serta pertokoan milik keturunan dilakukan kelompok mahasiswa ITB.
Berita pertamanya itu langsung menjadi Headline halaman depan dan malamnya terpaksa dicetak ulang, sangking laris koran yang menampilkan berita hot itu. Sementara surat kabar lainnya baru terbit besok. Sejak itu nama Hamzah moeda itu pun semakin harum.
Para wartawan yang bertugas di bidang Hankam, hukum dan kriminal, pasti sering mundar mandir ke PT Ika (Ilmu Kepolisian), sekarang ini menjadi Kopassus. Tahun 1962 institusi ABRI itu masih digabungkan dengan Kepolisian Negara.
Sebagai wartawan Hankam Hamzah juga sangat rajin bertandang ke markas tentara AU itu.Pernah suatu ketika Dia dilibatkan dalam pengepungan kelompok bandit asal Ambon pada sebuah hotel terkenal pada dinihari.
Bukan itu saja, suatu saat Dia diajak untuk ikut latihan di Lanud Margahayu(Kini Lanud Soelaiman) Di tempat itu juga dilatih mental dan pisiknya menjadi seorang penerjun bersama perwira tinggi ABRI lainnya selama tiga bulan.
Dia sempat dibekali keterampilan latihan khusus dalam bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi Indonesia -Malaysia
Sukses dalam latihan pertama, Dianya kembali diikutsertakan dalam latihan jajaran RPKAD (RESIMEN).