Rakyat Aceh Bantu Rebut Kota Medan Saat Dikuasai Agresi Belanda

oleh -160.579 views
Rakyat Aceh Bantu Rebut Kota Medan Saat Dikuasai Agresi Belanda
Teuku Abdullah Sakti Pensiunan Dosen Jurusan Sejarah FKIP USK

Oleh: Teuku Abdullah Sakti Pensiunan Dosen Jurusan Sejarah FKIP USK

REALITAS – Istilah Medan Area bersumber kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Setelah Jepang kalah dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan, tentera Inggeris atas nama Sekutu mendarat di kota Medan pada bulan Oktober 1945.

Bersamaan dengan pendaratan Sekutu tersebut, tentera Belanda ikut pula mendarat dengan menyamar sebagai petugas Palang Merah Internasional.

Kedatangan pasukan Inggeris yang dibonceng Belanda ini tentu mendapat perlawanan dari rakyat di Medan khususnya dan rakyat Sumatera Timur umumya.

Dalam menghadapi perlawanan rakyat itu, pihak Inggeris membagi tanggung-jawab jaga keamanan di Sumatera Timur kepada tentera Jepang dan bagi pihak Inggeris sendiri.

Tentera Inggeris bertanggung-jawab di kota Medan dan sekitarnya, sedang bagi pasukan Jepang wajib menjaga ketertiban dan keamanan di luar batas wilayah itu.

Sehubungan dengan pembagian tugas itu, sejak 1 Desember 1945, Inggeris memasang patok-patok di sekeliling kota Medan yang bertuliskan: “Fixed boundaries of protected Medan Area”, yaitu wilayah yang menjadi tanggung-jawab Inggeris, sedangkan area atau wilayah diluarnya menjadi tanggungan Jepang.

Bersumber tulisan dipatok-patok itulah yang mempopulerkan sebutan Medan Area untuk wilayah tersebut.

Front Medan Area sangat luas.

Wilayahnya membujur dari utara ke selatan dan melintang dari timur ke barat dengan kota Medan sebagai pusatnya.

Mengenai hal ini Amran Zamzami menjelaskan perinciannya sebagai berikut: “Areal lini barat menghampar dari Labuhan sampai ke bentangan Asam Kumbang – Padang Bulan – Tanjung Morawa. Di lini inilah terjadi palagan, pertempuran habis-habisan yang menyita banyak korban.

Disanalah Front Medan Area tergelar.

Dari Hamparan perak, kurang lebih dua puluh kilometer di sebelah utara kota Medan, bersinggungan dengan Labuhan Belawan, pasukan asal Aceh sudah sejak penghujung tahun 1946 mempersiapkan pos-pos pertahanannya.

Pasukan ini menyebar ke selatan secara merata menempati: Buluh Cina, Klumpang, Kelambir Lima, Titi Gantung sampai ke Stasiun Sunggal. Itulah daerah pertahanan Medan Area Barat – Utara.

Pada kawasan Barat – Selatan bentangan itu mulai dari kampung Lalang, Pasar Sunggal menembus Asam Kumbang.

Antara potongan Front Barat – Utara dengan Barat – Selatan di pisahkan oleh sebujur jalan raya dan rel kereta api dari kota Medan ke Binjai. Itulah jalan raya satu-satunya yang amat vital sebagai sarana perhubungan guna pengangkutan pasukan logistiknya apabila terjadi gerakan militer dari Medan menuju Aceh.

Jalan beraspal Medan-Binjai itu bagaikan terowongan yang menghubungkan daerah-daerah penambangan antara Sumatera Timur dan Aceh. Hutan Jati, padang ilalang, hutan-hutan bakau, hutan sawit dan perkebunan tembakau yang telah lama terlantar, adalah penunggu setia daerah ini.

Para pejuang dari Aceh mengalir dan membanjiri daerah garis depan di mulut pertahanan musuh, agar pasukan Belanda itu tidak melangkahkan kakinya ke Aceh, harus dipertahankan mati-matian, apapun yang terjadi, dan betapapun nyawa harus dikorbankan. Potongan jalan di lini ujung pada titik itu terletak kota Medan, harus dijaga dan dikawal ketat. Potongan itulah yang selalu menjadi ajang pertempuran memperebutkan batas wilayah, pengaruh dan pertahanan.

Di jalan raya dari Medan menuju Binjai dan sekitarnya, bertabur para pejuang Aceh, baik dari TRI maupun barisan laskar-laskar rakyat yang terkoordinasi dengan tentera, bagaikan kebun ranjau yang siap meledakkan setiap langkah musuh bila mereka melaluinya dalam gerak maju menuju pintu masuk wilayah Serambi Mekah.

Pos terdepan Belanda di alur Medan – Binjai itu terletak di Sei Sikambing pada Km–5. Sedang pos paling depan kita berada pada Km–7 di alur yang sama, persisnya di kampung Lalang.

Jarak antara posisi masing-masing garis pengintai dan patroli pasukan Belanda-tentera RI hanyalah dua kilometer. Pada lini sepanjang dua kilometer itulah bentrokan-bentrokan senjata merupakan peristiwa yang biasa dan menjadi mainan sehari-hari. Bentrokan antara kekuatan yang berlawanan saling mempertahankan posisi masing-masing, dan jika perlu memajukan demarkasinya.

Pada awal kemerdekaan kedudukan kota Medan amat penting. Selain letaknya yang mengandung arti strategis dari segi politik, ekonomi dan militer; Medan juga berfungsi sebagai ibukota dari provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. T. Muhammad Hasan.

Sebagai alat pertahanan, Tentera Keamanan Rakyat (TKR) telah dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1945. Selain TKR, berbagai organisasi perjuangan juga berfungsi sebagai alat pertahanan dan pembela negara.

TKR Ahmad Tahir dalam usaha mengimbangi taktik Belanda yang hendak menguasai jalur-jalur penting dalam kota Medan, maka para pejuang kemerdekaan bersepakat membentuk satu kesatuan komando tempur.

Rencana itu terlaksana di kota Tebing Tinggi pada tanggal 10 Agustus 1946. Kesatuan yang bersifat militer itu diberi nama “Resimen Laskar Rakyat Medan Area” (RLRMA) yang di dalamnya termasuk TKR dan Barisan Kelaskaran Rakyat, baik yang berasal dari Sumatera Timur maupun dari Aceh.

Markas Resimen Laskar Rakyat Medan Area (RLRMA) berkedudukan di “Trepes” (Two Revers) sebuah kompleks perkebunan di dekat Deli Tua, kurang lebih 18 km dari kota Medan.
Susunan pimpinan dan Staf Komando Resimen LRMA terdiri sebagai berikut:

  • 1. Komandan: Kapten NIP M. Karim (merangkap komandan Batalyon B).
    2. Kepala Staf Umum: Marzuki Lubis (Napindo).
    3. Kepala Staf Operasi: Kapten Alwin Nurdin (Devisi IV Sum).
    4. Kepala Penyelidikan: Letda Sutan Sitompul (Divisi IV Sum).
    5. Kepala Penerangan: B. H Hutajulu (P3ST).
    6. Kep. Perlengkapan: Abdullah Koto (Pesindo).
    7. Kepala Kesehatan: Letda M. Idrus (Setda Divisi IV).
    8. Kepala Perhubungan: Letda Syaki.
    9. Kepala Angkutan: Letnan Muda Edi Amiruddin (Staf Divisi Gajah I/Aceh).
    10. Kepala Sekretaris: Dahlan Lubis (Batalyon B).

Komandan Resimen LRMA memiliki 4 Batalyon pasukan Laskar Rakyat dan 1 Batalyon TKR, yaitu Batalyon B.

Keempat batalyon tersebut menempati sektor, sebagai berikut:

  • 1. Batalyon I dipimpin Jacob Lubis. Lokasi di Tembung (Medan
    Timur)
    2. Batalyon II dipimpin A. Hamid. Lokasi Sunggal (Medan Barat).
    3. Batalyon III dipimpin Barani Pohan. Lokasi di kampung Terjam, Hamparan Perak (Medan Utara).
    4. Batalyon IV dipimpin Yahya Aceh. Lokasi Tanjung Morawa (Medan – Selatan).

Ketika itu juga masih ada kesatuan perjuangan yang belum menggabungkan diri ke dalam RLMA, misalnya Kesatuan Laskar Napindo Andalas Utara yang dipimpin M. Yakob Siagian dengan lima resimen, yaitu:
1. Resimen I Tembong Pimpinan M. Daud Egon.
2. Resimen II Harimoliar Pimpinan Saragih Ras.
3. Resimen III Halilintar Pimpinan Selamat Ginting.
4. Resimen IV Naga Terbang Pimpinan Timur Pane.
5. Resimen V Banteng Laut Pimpinan A. Darma.

Kelakuan dan tindak-tanduk serdadu Belanda yang membonceng pada tentera Inggeris nyata-nyata melanggar kedaulatan Republik Indonesia. Opsir Belanda Kapten Raymond Turko Westerling yang berada di Medan saat itu termasuk algojo yang sangat kasar dan keras.

Para pejuang Indonesia dibantainya tanpa perikemanusiaan dan kaum Republikein ditangkap dan ditakut-takuti, sehingga suasana di kota Medan dan di Sumatera Timur pada umumnya menjadi kacau dan tidak aman. Oleh karena itu, untuk membantu para pejuang Republik di Medan dan Sumatera Timur dikirimlah pasukan dan alat senjata dari Aceh.

Pada masa itu tata tertib pemerintahan belum begitu lancar.

Dalam rangka mengatasinya tanggal 30 Agustus 1946 Gubernur Sumatera mengeluarkan Pedoman Pemerintah Provinsi Sumatera untuk menjadi pegangan bagi seluruh staf pegawai pemerintahan di Sumatera.

Pedoman yang dikeluarkan di Pematang Siantar itu ditanda tangani oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan, isinya sebagai berikut:

  • 1. Tiap-tiap pejabatan Provinsi adalah bagian pemerintahan yang tertinggi di Provinsi Sumatera yang berkewajiban memberi pimpinan dan tuntunan dan juga sebagai koordinator dari pejabatan yang sama seluruh Keresidenan.
    2. Pangkat Residen t. b.; Bupati t. b. Dan Wedana t. b. dihapuskan dan diadakan Wakil Gubernur, Wakil Residen dan Wakil Bupati.
    3. Dewan-dewan disamping pejabatan dihapuskan dan kepala pejabatan mengadakan perundingan dengan ahli-ahli yang bersangkutan pada waktu yang tertentu (periodiek).
    4. Kepala pejabatan bertanggung-jawab dengan diberikan kuasa mengadakan organisasi dan reorganisasi, dengan tidak mengurangi hak Gubernur dan Badan Pekerja.
    5. Susunan Pemerintahan Provinsi disesuaikan dengan susunan pemerintahan pusat.
    6. Semua pegawai yang mempunyai keahlian dipekerjakan kembali ditempat keahliannya masing-masing.
    7. Pegawai yang sudah tua menurut peraturan yang akan ditetapkan oleh Gubernur Sumatera diperhentikan dari jabatannya dengan mendapatkan tunjangan.
    8. Pegawai yang tidak jujur dan tidak cakap, diperhentikan.
    9. Untuk menjadi pegawai negara diutamakan syarat kejujuran, kecakapan dan kemauan bekerja.
    10. Memberi kesempatan kepada tenaga muda dan pemimpin-pemimpin organisasi rakyat yang jujur untuk bekerja menurut kecakapannya masing-masing dalam jabatan negara.
    11. Untuk menghindarkan segala pengaruh-golongan yang tidak sehat, dan untuk memperkokoh pemerintahan, diadakan pemindahan (mutasi) pegawai.
    12. Pemerintahan pusat Provinsi Sumatera dan pemerintahan Keresidenan terutama memperhatikan:
  • a. Pertahanan;
    b. Perekonomian;
    c. Keuangan;
    d. Penerangan, dan
    e. Pembangunan.
    13. Tiap-tiap pegawai negara menjalankan collegiaal-beleid (pimpinan kewargaan) dengan segala kejujuran dan kecakapan, berani mengambil inisiatif (tindakan) dan berani bertanggung-jawab.

Sementara itu, pertempuran terus-menerus berkecamuk di seluruh Indonesia.

Pertempuran-pertempuran antara tentera Indonesia dengan Belanda juga berlangsung di Medan.

Tindakan sewenang-wenang pasukan Belanda dilawan dengan gigih oleh Tentera Republik Indonesia (TRI) bersama laskar rakyat, sehingga banyak jatuh korban. Pasukan asal Aceh berjuang di Medan Area semakin bertambah jumlahnya karena terus-menerus mendapat tambahan pasukan.

Kehadiran TRI dan laskar rakyat dari Aceh ke Medan Area pada mulanya atas inisiatif sendiri. Selain untuk membantu perjuangan rakyat di Sumatera Timur melawan Belanda juga bermaksud mencegah serdadu Belanda memasuki daerah Aceh.

Gagasan awal meminta bantuan ke Aceh berasal dari dua orang ulama terkenal di Sumatera Timur yang mengirim surat kepada sahabatnya di Aceh.

Kedua ulama besar ini, yaitu Haji Abdul Halim dan Haji Zainal Arifin Abbas menulis surat dan mengirim utusan khusus menjumpai Ketua Umum (PUSA) (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) Tgk. Muhammad Daud Beureueh di Kutarajara. Dalam surat itu kedua ulama tersebut menjelaskan tiga masalah penting, yakni:

  • 1. Kehadiran Belanda/NICA di Medan Area, jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa, negara RI yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan membahayakan masa depan agama Islam.
    2. Sudah waktunya kaum muslimin dari Aceh ikut serta membantu saudara-saudaranya di Sumatera Timur untuk melancarkan “Perang jihad” dan “Perang Sabil” guna mengusir penjajah Belanda dari Bumi Indonesia.
    3. Sumatera Timur membutuhkan bantuan senjata berat, meriam-meriam besar bagi kesatuan artileri yang mampu memblokir dan menghancurkan pasukan artileri Belanda yang memiliki senjata moderen dan pesawat terbang.

Serdadu Inggeris yang mewakili Sekutu meninggalkan kota Medan pada 24 Oktober 1946. semua persenjataan mereka ditinggalkan dan diserahkan kepada pasukan Belanda yang menggantikan pos-pos yang ditinggalkan Inggeris.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat Indonesia di Medan Area, tanggal 20 November 1946 Belanda membentuk Brigade-Z yang dipimpin Kolonel P. Scholten. Hal ini berarti pasukan Belanda telah benar-benar mempersiapkan diri untuk bertarung melawan RI di Front medan Area.

Kesiapan pihak Belanda ini tidak dibiarkan begitu saja. Pihak kita Indonesia segera melawan arus Belanda itu, bahkan timbul maksud untuk mengusir mereka dari Sumatera Umumnya atau dari kota Medan pada khususnya.

Sebab itulah pimpinan TRI Komandemen Sumatera meminta bala bantuan dari Aceh.

Dalam radiogram yang ditujukan kepada Komandan Divisi Gajah I Tri Aceh; Panglima Sumatera, Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardojo menyebutkan:

“Pemimpin – Pemimpin Rakyat Aceh Pengembalian Kota Medan Terletak Ditangan Saudara – Saudara Segenap Penduduk Aceh Ttk Jangan Sangsi Ttk Alirkan Terus Kekuatan Aceh Ke Medan Dan Jangan Berhenti Sebelum Medan Jatuh TTK HBS Panglima Sumatera”.

Bagaikan gayung bersambut; kekuatan Aceh yang sejak sebelumnya sudah melimpah ruan di Medan dan sekitarnya, maka dengan adanya radiogram itu pasukan (artileri) asal Aceh bagaikan arus air bah membanjiri Medan Area.

Bantuan pasukan meriam dari Aceh dibawah komando pimpinan Letnan Nukum Sanany telah membangkitkan moril semangat juang para laskar rakyat di Sumatera Timur.
Kondisi perlawanan terhadap Belanda di Medan Area selama ini memang lebih menguntungkan pihak musuh. Hal ini bisa terjadi karena kelompok-kelompok para laskar rakyat berjuang dalam keadaan terpecah belah.

Setiap kelompok menganggap dirinyalah yang paling berjasa dan pintar dalam berjuang. Walaupun telah dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (RLRM), namun belum berfungsi secara efektif, karena instruksi-instruksinya tidak dijalankan oleh para anggotanya.

Guna mengatasi suasana yang merugikan perjuangan, maka pada tanggal 7 sampai 9 Januari 1947 di kota Bireuen diadakan rapat puncak para Panglima, yang dihadiri oleh :

  • 1. Kolonel Husin Jusuf, Panglima Divisi Gajah I Aceh.
    2. Kolonel H. Sitompul, Panglima Divisi Gajah II Sumatera Timur.
    3. Letnan Kolonel A. Kartawirana, mewakili komandemen Sumatera.
    4. Kapten NIP M. Xarim, Komandan Resimen Laskar Rakyat Medan Area (LRMA).
    5. Letnan Kolonel Tjikmat Rahmany, Kepala Staf Divisi Tengku Cik Di Tiro.
    6. Letnan Kolonel Nyak Neh, Kepala Staf Divisi Rencong. (Masing-masing didampingi oleh staf).

Rapat Panglima berlangsung secara marathon selama tiga hari tiga malam dan telah diambil kesepakatan sebagai berikut:

  • 1. Komando Resimen “Laskar Rakyat Medan Area” (LRMA) dibubarkan, sebagai gantinya dibangun Komando “Medan Area” (KMA).
    2. Sebagai Komandan dari Komando ini harus terdiri dari perwira menengah yang qualified (TRI) dan pernah berpengalaman dalam pertempuran.
    3. Divisi Gajah I Aceh ditugaskan mengontrol lokasi Medan Barat dan Utara. Sebuah Komando Resimen khusus dibentuk diberi nama Komando “Resimen Istimewa Medan Area”, disingkat RIMA. Seluruh kesatuan TRI dan Laskar Rakyat yang berasal dari Aceh dihimpun dalam RIMA.
    4. Divisi Gajah II Sumatera Timur ditugaskan mengontrol lokasi Medan Selatan dan sebagian Medan Barat, menghimpun semua kesatuan TRI dan Barisan Kelaskaran, yang berada di karesidenan Sumatera Timur.
    5. Kepada Panglima Divisi Gajah I Aceh diharapkan dapat mensuplai terus menerus bahan logistik untuk keperluan pertempuran di front Medan Area .
    6. Sebagai markas Komando Medan Area ditetapkan di Tanjung Morawa, 12 km. dari kota medan dan dilantik pada tanggal 24 Januari 1947.

Setelah selesai rapat para Panglima di Bireuen itu, segera dibentuk Komando Medan Area (KMA), yang pimpinan terasnya merupakan gabungan dari Divisi Gajah I (Aceh) dan Divisi Gajah II (Sumatera Timur).

Pemimpin dari Laskar Rakyat Bersenjata juga ikut serta dalam struktur dan formasi pimpinan KMA, yakni sebagai berikut:

  • 1. Komandan: Letnan Kolonel Sutjipto
    2. Kepala Markas Umum: Mayor Teuku Nurdin
    3. Kepala Penyelidikan: Kapten Yacob Lubis
    4. Kepala Penerangan: Letnan Satu G. Sianipar
    5. Kepala Bagian Umum: Letnan Dua K. Sinaga
    6. Kepala Perlengkapan: Hariandja
    7. Kepala Perhubungan: Letnan II Ali Muchtar
    8. Kepala Bagian Zeni: Letnan II A. Rahim
    9. Kepala Angkutan : Pak Raden
    10. Kepala Kesehatan : Dr. G. L. Tobing.

Pasukan bantuan dari Aceh ke Medan Area seluruhnya dipimpin oleh Kapten Alamsyah.

Kedatangan pasukan Aceh dari hari ke sehari semakin bertambah, karena itulah rapat para Panglima di Bireun memutuskan segera membentuk satu kesatuan komando untuk memudahkan koordinasi pasukan Aceh yang banyak itu.

Kesatuan itu diberi nama Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang pertama kali dipimpin Mayor Hasan Ahmad, dan kemudian diganti Mayor Cut Rahman. Kekuatan pasukan RIMA tersusun sebagai berikut:

Susunan kekuatan pasukan RIMA adalah sebagai berikut:

  • – Yon I Pimpinan Kapten Hanafiah berkedudukan di Kampung Lalang.
    – Yon II Pimpinan Kapten Nyak Adam Kamil di Kelambir Lima.
    – Yon III Pimpinan Alamsyah yang berturut-turut digantikan oleh Kapten Ali Hasan dan Kapten Hasan Saleh berkedudukan di Klumpang.
    – Yon IV Pimpinan Kapten Burhanuddin berkedudukan di Binjai.
    – Batalion Kapten Wiji Alfisah berkedudukan di Sunggal.
    – Laskar Divisi Chik Ditiro Pimpinan Tengku Talib di Sunggal.
    – Pasukan Aceh Tengah Pimpinan Tengku Ilyas Leube di Pancur Batu.
    – Batalion Pesindo (Devisi Rencong) Pimpinan Nyak Neh berkedudukan di Kampung Lalang.

Sementara itu, sepanjang waktu pasukan Aceh terus mengalir ke Medan Area. Dalam hal ini A. K. Yakobi dalam bukunya menggambarkan jalur-jalur yang ditempuh pasukan Aceh begini : “Mulai dari jurusan Aceh Raya sepanjang jalan raya Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur terus ke Binjai lebih 600 km.

Kemudian jurusan pesisir pantai mulai dari Aceh Barat dan Aceh Selatan sejauh 500 km sampai ke Sidikalang.

Dan jurusan dataran tinggi Gayo Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Karo sampai ke Pancurbatu dan Tuntungan sejauh tidak kurang dari 550 km.” (*)