Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menandai perubahan besar dalam cara negara memandang hukum dan pembangunan. Pemerintah menyebut regulasi ini sebagai terobosan untuk mempercepat investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun di balik semangat efisiensi dan penyederhanaan regulasi, muncul pertanyaan mendasar: apakah hukum masih dijalankan sebagai sarana keadilan sosial, atau telah berubah menjadi instrumen ekonomi semata?.
Sejak disahkan pada 2020, Undang-Undang Cipta Kerja menuai kontroversi luas. Kritik datang dari berbagai kalangan—akademisi, serikat buruh, aktivis lingkungan, hingga masyarakat adat. Mereka menilai proses pembentukannya minim partisipasi publik dan substansinya cenderung mengabaikan perlindungan terhadap kelompok rentan. Mahkamah Konstitusi pun menyatakan UU ini inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang memerintahkan perbaikan dalam dua tahun. Namun alih-alih membahas ulang secara mendalam, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, dengan dalih adanya “kegentingan yang memaksa”.
Di atas kertas, revisi tersebut memperbaiki mekanisme partisipasi publik dan perizinan berbasis risiko. Namun dalam praktiknya, masalah mendasar tetap sama: kebijakan ekonomi berbasis investasi sering kali berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam. Kasus konflik tanah adat di Sihaporas (Sumatera Utara), kriminalisasi petani tradisional di Kalimantan, dan sengketa tanah ulayat di Sumatera Selatan adalah contoh nyata bahwa hukum yang dibuat untuk efisiensi justru menciptakan ketidakadilan baru.
Paradigma Ilmu yang Melandasi Kebijakan
Jika ditelaah dari perspektif Filsafat Ilmu, Omnibus Law mencerminkan paradigma berpikir instrumental-positivistik: pandangan bahwa hukum dan ilmu merupakan alat (tools) untuk mencapai tujuan pragmatis, yaitu efisiensi ekonomi dan stabilitas politik. Dalam paradigma ini, hukum dianggap sebagai sistem normatif tertutup—objektif, rasional, dan bebas nilai. Namun di sinilah letak persoalannya. Ketika hukum dilepaskan dari nilai-nilai moral dan sosial, ia kehilangan jiwanya sebagai sarana keadilan. Hukum menjadi sekadar mekanisme administratif yang mengatur hubungan antara negara, investor, dan masyarakat, tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang melingkupinya.
Padahal, filsafat ilmu menegaskan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari tiga dimensi utama:
- Ontologi – hakikat realitas sosial yang diatur hukum;
- Epistemologi – cara memperoleh dan memvalidasi pengetahuan tentang hukum;
- Aksiologi – tujuan nilai dari hukum itu sendiri (Suaedi, 2016; Al Munip, 2024).
Omnibus Law gagal menjaga keseimbangan di antara ketiganya. Secara ontologis, ia mengabaikan realitas sosial masyarakat adat yang memiliki sistem hukum dan nilai tersendiri. Secara epistemologis, ia disusun melalui pendekatan teknokratis tanpa mendengar pengalaman empiris komunitas lokal. Dan secara aksiologis, ia lebih menekankan efisiensi ekonomi dibandingkan keadilan sosial.
Untuk memahami secara mendalam bagaimana Omnibus Law lahir dan dioperasionalkan, penting untuk meninjau kerangka berpikirnya melalui tiga paradigma dalam Filsafat Ilmu, yaitu Ilmu Murni (Pure Science), Ilmu Dasar (Basic Science), dan Ilmu Terapan (Applied Science). Ketiga ranah ini tidak hanya menggambarkan tahapan pengetahuan, tetapi juga menunjukkan bagaimana ilmu membentuk kebijakan publik dan praktik hukum di masyarakat.
Dalam perspektif Filsafat Ilmu, kebijakan Omnibus Law dapat dipahami sebagai cerminan ketimpangan antara Ilmu Murni, Ilmu Dasar, dan Ilmu Terapan. Ilmu Murni sejatinya berorientasi pada pencarian kebenaran dan nilai keadilan yang hakiki, namun dalam praktiknya hukum justru direduksi menjadi instrumen efisiensi ekonomi. Ilmu Dasar yang semestinya menjembatani teori dan praktik diabaikan, karena pendekatan pembangunan yang digunakan lebih bersifat universal dan teknokratis tanpa mempertimbangkan konteks sosial-budaya Indonesia.
Akibatnya, Ilmu Terapan yang diwujudkan dalam bentuk regulasi seperti Omnibus Law kehilangan pijakan filosofis dan etisnya. Hukum yang seharusnya melindungi manusia justru menjadi alat legitimasi kebijakan ekonomi yang berpotensi melahirkan ketimpangan sosial dan konflik struktural. Oleh karena itu, diperlukan integrasi ketiga paradigma keilmuan tersebut agar pembangunan hukum Indonesia tidak sekadar efisien secara administratif, tetapi juga berkeadilan dan berkeadaban sesuai cita hukum Pancasila.
Agar pembangunan hukum Indonesia kembali berpijak pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, diperlukan integrasi epistemologis antara ketiga paradigma tersebut. Ilmu Murni harus menanamkan kesadaran etis dan filosofis, Ilmu Dasar perlu merumuskan teori yang kontekstual dan reflektif terhadap realitas sosial Indonesia, dan Ilmu Terapan wajib menerjemahkan kebijakan secara adil dan berkeadaban. Dengan keseimbangan ini, hukum tidak hanya efisien secara administratif, tetapi juga adil secara substansial dan manusiawi.
Krisis Epistemik dan Etika Pembangunan
Fenomena ini menandakan krisis epistemik dan etika dalam pembangunan hukum nasional. Ilmu dan kebijakan publik seolah kehilangan kesadaran akan tujuannya: bukan sekadar mengatur, tetapi menuntun manusia menuju kehidupan yang adil dan bermartabat. Hukum menjadi “rasional secara teknis” namun “tumpul secara moral”.
Sebagaimana dikatakan Aristoteles, tujuan hukum adalah bonum commune—kebaikan bersama (Robert C. Bartlett & Susan D. Collins, 2011). Namun dalam praktik Omnibus Law, hukum justru lebih berpihak pada bonum privatum—kepentingan ekonomi segelintir pihak. Ketika logika efisiensi mengalahkan nurani keadilan, maka hukum tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan menjadi alat legitimasi kekuasaan ekonomi.
Kembali ke Cita Hukum Pancasila
Indonesia sejatinya memiliki landasan filosofis yang kuat untuk menyeimbangkan hukum dan kemanusiaan, yakni cita hukum Pancasila. Pancasila menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan—bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang bermartabat. Hukum yang lahir dari semangat Pancasila seharusnya tidak hanya menjamin kepastian dan kemanfaatan, tetapi juga keadilan substantif yang berpihak pada kelompok lemah dan menghormati kearifan lokal.
Karena itu, perumusan kebijakan seperti Omnibus Law seharusnya tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, melainkan juga berpijak pada penghargaan terhadap keberagaman nilai dan budaya hukum. Pemerintah perlu mengubah paradigma ilmu hukum dari yang teknokratis menjadi reflektif—yakni hukum yang hidup, memahami masyarakat, dan memelihara keseimbangan antara kepastian, keadilan, serta kemanfaatan.
Penutup
Omnibus Law adalah cermin dari cara berpikir bangsa ini tentang hukum dan pembangunan. Ia menunjukkan bagaimana efisiensi bisa menjadi berbahaya ketika dilepaskan dari kesadaran etis dan kemanusiaan. Dalam refleksi Filsafat Ilmu, hukum tidak seharusnya hanya menjadi alat bagi negara untuk mengatur, tetapi juga cermin bagi nurani bangsa dalam menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis :
Zaki Ulya, S.H.,M.H.
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra)










