Penyerahan Pulau Antar Provinsi: Melangkahi Kewenangan Konstitusional?

oleh -54.759 views
Penyerahan Pulau Antar Provinsi: Melangkahi Kewenangan Konstitusional?

Opini Oleh: Dr. Fuadi, S.H.,M.H

 

Baru-baru ini masyarakat Aceh dikejutkan oleh isu pemindahan atau penyerahansebuah pulau yang selama ini menjadi bagian dari wilayah Aceh kepada Provinsi Sumatera Utara. Meski belum ada penjelasan resmi yang utuh, isu ini telah memicukegelisahan dan memunculkan pertanyaan besar: apakah wilayah Acehbisadipindahkan ke provinsi lain tanpa persetujuan masyarakat dan pemerintahdaerah Aceh?
Jawaban dari segi hukum tata negara sangat jelas: tidak bisa. Pemerintah pusat tidakmemiliki kewenangan untuk menyerahkan wilayah Aceh ke provinsi lainsecarasepihak. Segala bentuk perubahan batas wilayah, apalagi antarprovinsi, harus melalui mekanisme konstitusional dan undang-undang, bukan sekadar keputusanadministratif atau teknis dari kementerian. Konstitusi kita, Pasal 18 UUD 1945, menyatakan bahwa pembentukan dan perubahanprovinsi harus diatur dengan undang-undang. Ini berarti perubahan batas wilayahantarprovinsi tidak cukup hanya diputuskan oleh pemerintah pusat, melainkan harus dibahas dan disetujui bersama DPR RI dan Presiden, sesuai mekanisme legislasi. Secara hukum, pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk”menyerahkan” wilayah, termasuk pulau, dari satu provinsi ke provinsi lainsecara sepihak tanpa melalui mekanisme hukum yang diatur dalamperaturanperundang-undangan. 1. Kewenangan Penataan Wilayah Pemerintah pusat memang memiliki kewenangan dalam penataan wilayahadministratif, termasuk perubahan batas wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tetapi harus dilakukan dengan:
a. Dasar hukum yang jelas, seperti undang-undang untuk pembentukan atauperubahan wilayah provinsi (Pasal 18 UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah). b. Pasal 18 UUD 1945 memberikan dasar konstitusional tentang pembagianwilayah pemerintahan di Indonesia. Bunyi Pasal 18 ayat (1) dan (2):
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dandaerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur denganundang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Maknanya adalah Pembentukan atau perubahan batas wilayah provinsi harus
dilakukan melalui undang-undang, tidak cukup hanya dengan keputusanpemerintah pusat secara administratif. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan DaerahUU ini mengatur secara rinci tentang mekanisme perubahan batas wilayah daerah. Pasal 31 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014: “Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan Daerah provinsi dan Daerahkabupaten/kota ditetapkan dengan undang-undang.” Pasal 33 ayat (1) dan (2):
(1) Perubahan batas daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
dengan peraturan pemerintah berdasarkan persetujuan bersama antara
pemerintah daerah yang berbatasan. (2) Perubahan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri. Maksudnya adalah Perubahan batas wilayah tidak bisa dilakukansepihak, melainkan harus: Melalui peraturan pemerintah (PP) untuk
batas kabupaten/kota; Melibatkan persetujuan dari daerah yang
berbatasan; Disertai kajian teknis dan administratif yang
komprehensif. Dengan demikian perubahan wilayah antar provinsi, harus melalui Undang-Undang, bukan sekadar peraturan menteri atau
keputusan administratif. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerahjuga mewajibkan adanya persetujuan dari daerah-daerah yang berbatasanjikaakan dilakukan perubahan batas wilayah. Bahkan untuk perubahan batas
kabupaten/kota sekalipun, harus ada persetujuan bersama dan kajian mendalam. Apalagi dalam konteks antarprovinsi yang menyangkut otoritas yang lebih tinggi. Aceh memiliki posisi khusus dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. DalamUndang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pasal 8ayat
(2) secara tegas menyebut bahwa perubahan batas wilayah Aceh dengan provinsi lainharus melalui konsultasi dengan DPRA dan Pemerintah Aceh, dan ditetapkandengan undang-undang. Maka, jika ada perubahan wilayah Aceh tanpa keterlibatanresmi Pemerintah Aceh dan DPRA, maka tindakan itu tidak sah secara hukum. Lebih dari sekadar hukum formal, hal ini menyangkut marwah, kedaulatan, dankepercayaan masyarakat Aceh terhadap sistem negara. Isu pemindahan pulau, jika dilakukan secara diam-diam atau tanpa partisipasi publik, bisa menjadi presedenburuk dan menimbulkan konflik sosial dan ketidakpercayaan politik. Kita mengingat betul bagaimana persoalan batas wilayah di berbagai daerah bisamemicu ketegangan horizontal. Maka, tindakan apapun yang menyangkut batas
wilayah harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan konstitusional. Dalam konteks ini, Pemerintah Aceh dan DPRA harus segera bersuara danmengambil langkah hukum maupun politik. Tidak cukup sekadar menyampaikankeberatan, tetapi juga mengawal proses administratif dan hukum, sertamemastikan tidak ada satupun wilayah Aceh yang dialihkan tanpa persetujuan resmi
rakyat Aceh. Aceh telah melalui jalan panjang dalam memperjuangkan otonomi dankekhususannya. Maka, mempertahankan integritas wilayah adalah bagian dari menjaga kehormatan dan kedaulatan daerah. Wilayah bukan hanya soal tanah, tetapi
menyangkut identitas dan harga diri. Dalam sejarah panjang perjuangan Aceh, soal wilayah bukan hal kecil. Ini
menyangkut identitas, kedaulatan, dan penghargaan terhadap otonomi khusus yangdiberikan secara sah oleh negara. Maka kita semua—pemerintah daerah, tokohmasyarakat, akademisi, dan rakyat Aceh—perlu bersatu menyuarakan satu hal:
wilayah Aceh bukan untuk dinegosiasi secara sepihak. Kalau benar ada niat menyerahkan pulau Aceh ke provinsi lain tanpa mekanismehukum dan tanpa suara dari rakyat Aceh, maka itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap marwah Aceh. Pulau Aceh tidak bisa diserahkan sepihak. Hukum telah mengatur, dan sejarah telahmengingatkan: jangan ulangi kesalahan yang bisa mengoyak kepercayaan rakyat terhadap negara. Isu penyerahan pulau ini tidak bisa dianggap sepele. Pulau adalah bagian dari wilayah, dan wilayah adalah bagian dari jati diri dan kedaulatan suatu daerah. Masyarakat Aceh berhak tahu dan berhak menolak jika ada upaya memindahkan wilayahAceh ke provinsi lain tanpa proses hukum yang jelas dan transparan. Kita berharap Pemerintah Aceh dan DPRA bersuara tegas dan mengambil langkahhukum serta politik yang diperlukan. Jangan sampai peristiwa ini menjadi presedenburuk yang akan menggerus kewenangan Aceh di masa depan. Kesimpulan:
Pemerintah pusat tidak berwenang secara sepihak menyerahkan pulauyangberada di wilayah teritorial Aceh kepada Provinsi Sumatera Utara. Proses tersebut harus melalui prosedur perubahan batas wilayah sesuai dengan peraturanperundang-undangan dan melibatkan Pemerintah Aceh serta DPRA, mengingat status kekhususan Aceh dan hak otonominya.