Anwar Usman Harus Mundur dari Jabatan Ketua MK

oleh -110.579 views
Anwar Usman Harus Mundur dari Jabatan Ketua MK
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman

Jakarta | Realitas – Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman dan Wakil Ketua Aswanto harus berhenti dari jabatannya tersebut, usai dikabulkannya judicial review atas Pasal 87 huruf a UU MK yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam judicial review yang diajukan Priyanto turut menyoal terkait aturan posisi ketua MK yang bisa dijabat oleh hakim konstitusi hingga masa jabatannya sebagai hakim berakhir.

“Mengabulkan permohonan, Pemohon untuk sebagian,” tulis demikian dikutip dalam draft putusan Nomor 96/PUU-XVIII /2020, dikutip dari laman MKri, Senin (20/6).

“Menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tulisnya.

Setelah itu, dalam putusan tersebut memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Kemudian selain petitum dalam putusan akan ditolak permohonan dan selebihnya.

Adapun, bunyi Pasal 87 huruf a UU 7/2020: Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;

Imbas dengan dikabulkannya putusan ini berdampak pada Anwar Usman selaku Ketua Hakim MK serta Aswanto sebagai Wakil Ketua Hakim MK harus berhenti dari jabatannya, walaupun mereka tetap menjabat sebagai hakim konstitusi hingga habis masa jabatannya.

BACA JUGA :  Ketua DPD Ikadin Aceh Raih Award Advokat Pembela HAM

Karena, sebagaimana putusan yang menganggap Pasal 87 huruf a itu melanggar konstitusi. Dimana dalam aturan baru yang digugat sesuai materi pokok ini, menyebut kalau masa jabatan hakim 15 tahun tanpa kocok ulang, atau pensiun di usia 70 tahun.

Sedangkan, dalam penjelasan dalam undang-undang lama dijelaskan jika masa jabatan hakim konstitusi dikocok ulang per lima tahun dan maksimal 2 periode.

Alhasil dengan keputusan ini, aturan baru yang dijelaskan hanya mengubah masa jabatan hakim konstitusi. Tidak termasuk dalam jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK, sehingga dikembalikan sebagai aturan lama.

Maka sesuai Undang-undang Nomor 7 tahun 2020, dijelaskan bahwa masa jabatan hakim konstitusi tanpa periodisasi selama 15 tahun dan/atau pensiun di usia 70. Adapun masa jabatan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi berakhir sampai 6 April 2026, dan Aswanto sampai 21 Maret 2029.

Dijalankan 9 Bulan Sejak Putusan
Lebih lanjut putusan meski adanya putusan terbaru MK ini, Anwar Usman dan Aswanto tidak langsung turun dari jabatannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK. Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa keduanya masih sah menjadi pejabat terkait hingga Ketua dan

BACA JUGA :  Ketua DPD Ikadin Aceh Raih Award Advokat Pembela HAM

“Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” baca Enny dikutip dari channel youtube MK.

Hal itu sebagaimana termuat dalam pertimbangan agar tak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo, Ketua dan Wakil Ketua MK tetap menjabat hingga terpilih pejabat yang baru.

Pendapat Berbeda

Di samping itu dalam putusan kali ini, turut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dilayangkan hakim konstitusi.

Tercatat dari total sembilan hakim ada dua hakim yaitu Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul yang sertakan alasan berbeda (concuring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Sementara untuk Hakim konstitusi Wahidudin Adams memiliki pendapat berbeda, dan hakim konstitusi Saldi Isra memiliki alasan berbeda. Lalu Hakim Konstitusi Suhartoyo serta Daniel Yusmic P Foekh yang juga punya alasan berbeda.

Terakhir, Anwar Usman kemudian menyampaikan pendapat berbedanya dalam putusannya tersebut.

“Norma di dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak boleh di dalam pembentukan sebuah undang-undang ada norma yang justru menegaskan norma lainnya, ” jelas Usman.

“Jika hal tersebut terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut keluar atau tidak sesuai dengan kaidah pembentukan perundang-undangan yang baik,” tambahnya Anwar. (*)

Sumber: merdeka