Sumenep I REALITAS — Sebuah preseden buruk nan mencengangkan kembali mengoyak tatanan hukum dan akal sehat di Kabupaten Sumenep. Tindakan Nokarno (nama samaran), seorang warga Desa Bilapora Rebba, Kecamatan Lenteng, telah menjelma menjadi representasi vulgar dari anarki dan pengabaian terhadap kepentingan publik.
Bagaimana mungkin seorang individu dengan pongahnya melakukan perusakan fasilitas umum, berupa bahu jalan provinsi yang notabene merupakan aset negara di bawah kewenangan Binamarga, hanya demi mengatasi persoalan drainase privat?
Aksi barbar Nokarno, yang dengan sengaja menggali bahu jalan hingga kedalaman kurang lebih tiga meter dan lebar dua meter, bukan hanya mengganggu kelancaran arus lalu lintas, melainkan juga mengancam keselamatan jiwa para pengguna jalan.
Tindakan ini adalah sebentuk egoisme akut, di mana kepentingan personal dijustifikasi dengan mengorbankan keamanan dan kenyamanan masyarakat luas. Alasan klasik yang dilontarkan, yakni ketiadaan saluran pembuangan air yang menyebabkan genangan di kediamannya, sungguh naif dan tidak dapat dijadikan pembenaran atas pelanggaran hukum yang nyata.
Upaya Nokarno untuk menghubungi kepala desa, yang berujung pada kegagalan komunikasi, sama sekali tidak melegitimasi tindakan destruktif tersebut. Dalih bahwa seorang oknum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memberikan “lampu hijau” untuk aksi ilegal ini justru semakin memperburuk citra penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan di tingkat desa.
Sungguh ironis, sebuah organisasi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan dan pembelaan kepentingan masyarakat, justru terkesan mendukung tindakan yang jelas-jelas melanggar aturan.
“Kata teman saya tidak apa-apa selama itu dikerjakan untuk kepentingan masyarakat dan nanti kalau sudah selesai dikembalikan lagi seperti semula,” ujar Nokarno, mengutip “sabda” oknum LSM tersebut. Pernyataan ini adalah kontradiksi yang menggelikan.
Bagaimana mungkin tindakan merusak fasilitas publik demi kepentingan sepihak dapat dikategorikan sebagai “kepentingan masyarakat”? Janji untuk mengembalikan kondisi jalan seperti semula pun adalah retorika kosong, mengingat potensi bahaya dan kerugian yang telah ditimbulkan.
Peristiwa ini adalah tamparan keras bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Ketidaktegasan dalam menindak pelanggaran semacam ini akan mendorong munculnya preseden buruk lainnya, di mana individu merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenang atas fasilitas publik demi kepentingan pribadi.
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Nokarno dan oknum LSM yang diduga memberikan “restu” atas tindakan melawan hukum ini harus segera diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Inilah saatnya bagi para pemangku kebijakan untuk menunjukkan ketegasan dan integritas. Jangan biarkan hukum tercoreng oleh tindakan arogan segelintir orang. Masyarakat Sumenep berhak atas rasa aman dan nyaman dalam menggunakan fasilitas publik.
Aksi destruktif di Bilapora Rebba ini harus menjadi pelajaran pahit, sekaligus momentum untuk memperkuat penegakan hukum dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghormati aset negara demi kepentingan bersama. Jika tidak, anarki akan terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.(R. M Hendra)