Kontra-Narasi Ekskavasi Fakta dan Analisis Hukum dalam Kasus Dugaan Misinformasi di SDN Torjek 2

oleh -79.759 views

Sumenep I REALITAS  —  Sebuah disonansi informasi yang mencemaskan telah muncul di ranah publik Sumenep, dipicu oleh pemberitaan yang diduga kuat menyimpang dari fakta sebenarnya. Media sebelumnya yang seharusnya berfungsi sebagai pilar informasi yang akurat, terindikasi melakukan distorsi naratif dalam melaporkan peristiwa terkait seorang guru bernama Rasulullah di SDN Torjek 2 Kecamatan Kangayan. Klaim “pemecatan” yang sensasional, yang kemudian dibantah dengan tegas oleh Kepala Sekolah, Arifin, memunculkan pertanyaan serius mengenai motif dan integritas media tersebut.

Pernyataan Kepala Sekolah, Arifin, yang secara eksplisit menyatakan, “Rasulullah (Guru PAI) Dipecat, Adalah Pernyataan Tak Berdasar Dan Menyesatkan. Saya hingga saat ini tidak pernah mengeluarkan surat keputusan (SK) pemecatan terkait guru atas nama Rasulullah,” merupakan bantahan telak terhadap narasi yang dibangun oleh media sebelumnya

Dalam perspektif hukum, ketiadaan SK pemecatan adalah bukti mutlak yang menggugurkan klaim pemecatan. Pemberitaan yang mengabaikan atau mereduksi fakta krusial ini jelas merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar jurnalisme.

Lebih lanjut, terungkapnya fakta bahwa enam wali murid menuntut pengeluaran Rasulullah dan seorang guru lain, Mudeloleno, dengan alasan “berperilaku seperti LSM,” membuka dimensi permasalahan yang lebih dalam dan kompleks. Ini bukan sekadar isu “pemecatan,” melainkan sebuah indikasi adanya ketegangan antara aktivitas guru di luar kelas dan ekspektasi sebagian wali murid. Dalam konteks ini, media seharusnya melakukan investigasi mendalam mengenai

BACA JUGA :  HMI Sumbagsel Apresiasi Polda Lampung Tindak Cepat Pungli dan Premanisme

1-Dalam Batasan Profesionalisme Guru, Apakah aktivitas guru di luar kelas tersebut melanggar kode etik atau peraturan kepegawaian?

2-terkait Hak dan Tanggung Jawab Wali Murid, Apakah tuntutan wali murid tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, atau sekadar didasarkan pada preferensi subjektif?

3-Dari Peran Sekolah dan Pengawas, Apakah penanganan masalah ini oleh pihak sekolah dan pengawas sudah tepat dan sesuai dengan prosedur yang berlaku?

Fasilitasi pertemuan mediasi oleh pihak sekolah, yang melibatkan wali murid, guru, dan pengawas, menunjukkan adanya upaya penyelesaian masalah secara internal dan damai. Kesepakatan untuk membuat surat pernyataan, yang ditolak oleh Rasulullah, mengindikasikan adanya perbedaan pendapat yang mendasar. Penolakan ini, yang diiringi dengan luapan emosi, seharusnya menjadi fokus perhatian media untuk menggali lebih dalam

1-Alasan Penolakan, Mengapa Rasulullah menolak membuat surat pernyataan? Apakah ada implikasi hukum atau administratif dari penolakan tersebut?

2-Status Kepegawaian, Bagaimana status kepegawaian Rasulullah saat ini? Apakah ada tindakan disipliner yang diambil atau direncanakan?

Pernyataan tegas pengawas sekolah, Masrur, yang mengkonfirmasi tidak adanya keputusan pemecatan, semakin memperkuat dugaan adanya misrepresentasi fakta oleh media sebelumnya. Dalam perspektif hukum, pernyataan saksi kunci ini memiliki bobot yang signifikan dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa.

Konfirmasi langsung dari Rasulullah, “saya tidak pernah merasa menerima SK pemecatan dan tidak ada orang yang memecat saya hingga hari ini,” adalah bukti otentik yang secara definitif membantah klaim pemecatan. Ini adalah testimoni langsung dari pihak yang paling terdampak, yang seharusnya menjadi dasar utama dalam pemberitaan yang bertanggung jawab.

BACA JUGA :  Tim Gabungan Temukan 6 Korban Banjir Bandang di Pegunungan Arfak, Pencarian Dilanjutkan Hari Ini

Patut dipertanyakan secara serius, apa motif di balik pemberitaan media sebelumnya yang terindikasi kuat melakukan distorsi fakta dan manipulasi informasi? Apakah ini sekadar upaya mencari sensasi murahan, atau ada agenda tersembunyi yang lebih kompleks? Dewan Pers dan aparat penegak hukum perlu melakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus ini untuk

1-Menegakkan Kode Etik Jurnalistik, Memastikan bahwa media massa mematuhi standar profesionalisme dan akurasi dalam pemberitaan.

2-Melindungi Hak Masyarakat atas Informasi yang Benar, Mencegah penyebaran berita bohong dan disinformasi yang dapat merugikan individu dan masyarakat luas.

3-Menindak tegas pelaku pelanggaran, Memberikan sanksi yang setimpal kepada media atau individu yang terbukti melakukan pelanggaran.

Kasus ini menjadi preseden buruk yang mengancam kredibilitas media massa di Sumenep. Ini adalah pengingat yang mendesak akan pentingnya verifikasi berlapis, investigasi mendalam, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang, bukan narasi sensasional yang dibangun di atas kebohongan dan manipulasi fakta.(R. M Hendra)