Jakarta I Realitas – Spirit pers di era digital diharapkan dapat bertanggung jawab dengan menyajikan informasi yang dapat menjaga keberlangsungan hidup bermasyarakat melalui semangat toleransi dan inklusifisme di antara golongan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Kemenkominfo Gun Gun Siswadi dalam diskusi media bertema “Optimalisasi Kompetensi Wartawan dan Peran PWI dalam Pemberitaan Pembangunan Nasional di Jakarta, pada Selasa (24/4/2018).
Acara yang diselenggarakan oleh Dewan Kehormatan PWI Provinsi Jakarta itu juga menampilkan pembicara lainnya pengamat media Dr. Agus Sudibyo, Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Jakarta Kamsul Hasan dan wartawan senior yang juga mantan Pemred Harian Republika Nasihin Masha.
Menurut Gun Gun, saat ini media mainstream bukan hanya bersaing dengan media lain, juga bersaing dengan platform media digital khususnya media sosial (medsos) dengan kecepatan menyebarkan informasinya.
Untuk itu, pers dalam pemberitaannya perlu menonjolkan upaya menghargai antar golongan masyarakat, memberdayakan dan membangkitkan spirit nasionalisme dan membangun bangsa.
“Melalui pers yang professional bisa terdapat berbagai pembelajaran menuju pemberdayaan masyarakat. Media yang berkualitas akan dapat berperan dalam memecahkan berbagai masalah,” ujar Gun Gun.
Pembicara lainnya, mantan Pemred Harian Republika Nasihin Masha mengatakan, di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers di Indonesia saat ini, pers harus memainkan peran bak mata air yang menjernihkan arus informasi yang begitu banyak mengalir ke masyarakat.
Pers dalam hal ini khususnya media konvensional, menurut Nasihin, harus menjadi corong penyampaian informasi mengutamakan kebenaran sesuai fakta dengan memperhatikan etika.
“Pers itu harus menjadi mata air. Pers harus menjadi solusi bagi masyarakat yang gelisah akan berbagai informasi yang simpang siur melalui media sosial,” ujarnya.
Menurut Nasihin, pers masih dapat memainkan peran sebagai pendorong kemajuan bangsa. Kuncinya, pers harus mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat.
“Poinnya adalah kita harus saling percaya. Bahwa pers sebagai pemberi informasi tentang nilai-nilai kebangsaan. Kemajuan suatu negara juga tergantung nilai-nilai dari bangsa itu,” ujarnya.
Tentang profesi wartawan, Ketua Dewan Kehormatan PWI Prov. Jakarta Kamsul Hasan mengatakan, pada Pasal 7 UU Pers No 40/1999 tidak tegas menjelaskan latar belakang profesi seorang wartawan, hanya disebutkan wartawan bebas dalam memilih organisasi dan wajib menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Jika kita bandingkan dengan profesi lain misalnya pengacara, jelas untuk menjadi seorang lawyer maka wajib memiliki ijazah S1 Hukum dan wajib mengikuti pendidikan khusus,” ujarnya.
Menurut Kamsul, permasalahan kompetensi wartawan memang sudah diatur melalui ketentuan Dewan Pers. Persoalannya, sampai sejauh ini belum ada perlakuan khusus bagi wartawan yang sudah memiliki sertifikasi kompetensi.
“Apakah setelah memiliki sertifikat kompetensi seseorang wartawan dapat menikmati kenaikan gajinya di kantornya? Belum
ada kepastiannya,” ujarnya.
Pengamat media Agus Sudibyo mengatakan, kebebasan pers itu sepatutnya dilihat tidak sebagai satu hal yang berdiri sendiri. Demikian juga KEJ yang antara lain mensyaratkan fakta dan keberimbangan.
“Kebebasan pers perlu diletakkan dalam sisi kepentingan nasional, kesejahteraan rakyat, hal yang sudah menjadi SOP dalam negara-negara demokrasi termasuk di Asia seperti Jepang, Korea dan Thailand,” ujarnya.
Agus mencontohkan, ketika pada tahun 2017 terjadi ledakan Gunung Agung di Bali, pers Indonesia mempublikasikannya besar-besaran dengan foto-foto bencana yang menyolok, ke seluruh dunia, sehingga turis membatalkan kunjungan ke Bali.
Akhirnya, para turis beralih tujuan ke Pattaya dan Phuket. “Nah, ternyata Thailand yang mendapat untung dari pemberitaan pers Indonesia. Kunjungan wisatawan ke Indonesia anjlok, berbagai kalangan di Bali sampai ke pedagang kecil, kehilangan mata pencahariannya,” ujarnya.
Berbeda dengan kondisi pers di Thailand dan Jepang, menurut Agus, mereka sudah memiliki rasa persatuan bangsa yang sudah melekat dalam diri wartawan Thailand maupun Jepang. “Mereka menutup rapat peristiwa bencana yang terjadi di dalam negerinya,” ujarnya.(Rostani)