Sumenep I REALITAS –- Sebuah tragedi mengoyak ketenangan Dusun Pucang, Desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Kematian IN, seorang janda muda beranak dua, masih menjadi narasi pilu yang tak henti diperbincangkan. Semua indikasi menunjuk pada dugaan kuat konsumsi obat penggugur kandungan yang disinyalir disodorkan oleh kekasih gelapnya. Motifnya? Sebuah upaya naif untuk membungkam aib perselingkuhan, ironisnya di tengah kebahagiaan sang kekasih yang baru saja dikaruniai buah hati dari istri sahnya. Namun, niat busuk menyelamatkan reputasi itu justru berujung pada pelanggaran hukum yang fatal, merenggut nyawa IN dan memutus rantai kehidupan dua anak yatim.
Dalam pusaran duka ini, kepemimpinan desa terbelah menjadi dua kutub yang kontras. Di satu sisi, Kepala Desa Cangkreng, Halili Sarbini, tampil sebagai simbol empati dan kepedulian. Dalam wawancara eksklusif pada Rabu, 2 Juli 2025, beliau tak ragu berbagi duka mendalam yang merasuki warganya. “Kami semua pastinya terkejut atas kejadian yang menimpa almarhumah IN, karena walau bagaimanapun untuk saat ini kami masih dalam kondisi berbela sungkawa,” ucapnya pilu, menegaskan komitmen seorang pemimpin yang tak berjarak dari jeritan hati rakyatnya. Sikap Kades Halili adalah teladan nyata dari manifestasi amanah, sebuah bukti bahwa keberpihakan pada masyarakat adalah esensi kepemimpinan sejati.
Namun, potret kontradiktif terpampang jelas di Desa Meddelan. Sang Kepala Desa Meddelan terkesan abai dan enggan mengambil resiko, sebuah ironi pahit bagi seorang pemimpin yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan publik. Kontras ini bukan sekadar perbedaan gaya, melainkan jurang pemisah antara integritas dan apati, antara pemimpin yang melayani dan pemimpin yang sekadar berkuasa.
Di tengah kemelut ini, suara keadilan menggema dari Rasyid Nadhyin, seorang aktivis yang reputasinya tak diragukan lagi dalam membongkar kejahatan. Pada Rabu, 2 Juli 2025, pukul 14:35 WIB, Rasyid menegaskan bahwa ia telah berkoordinasi dengan kejaksaan, mengirimkan sinyal kuat bahwa kasus ini akan terus dikawal.
“Oknum mantan kekasihnya yang diduga memberikan obat aborsi tersebut kepada IN yang diduga menyebabkan kematian IN harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di meja hijau,” tegas Rasyid, dengan intonasi yang tak meninggalkan ruang interpretasi. Ini bukan sekadar permintaan, melainkan tuntutan hukum yang absolut. Ia melanjutkan, “Ini sebagai contoh agar hal demikian di Sumenep tidak terjadi lagi. Ini masalahnya menyangkut hilangnya nyawa seseorang yang wajib kita bela.”
Rasyid juga tak lupa mengingatkan bahwa masyarakat, sebagai ‘kasta tertinggi’ dalam sistem demokrasi, tidak bisa berpangku tangan melihat oknum yang dengan sengaja mempermainkan supremasi hukum. Penegasan ini merupakan cambuk bagi setiap pihak yang berwenang untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi utopia, melainkan realitas yang ditegakkan.
Lebih lanjut, Rasyid Nadhyin secara lugas menutup pernyataannya dengan penegakan hukum yang krusial. “Mengingat kompleksitas dan beratnya dampak dari aborsi yang menyebabkan kematian, sangat kecil kemungkinan kasus ini dapat ditoleransi atau diselesaikan murni melalui pendekatan keadilan restoratif. Proses hukum pidana akan menjadi jalur utama untuk menegakkan keadilan dan memberikan sanksi kepada pelaku. Intinya, dalam kasus aborsi yang menyebabkan kematian, fokus utama adalah penegakan hukum pidana untuk memastikan keadilan bagi korban dan masyarakat.”
Pernyataan ini adalah kunci bagi penanganan kasus ini. Ini menegaskan bahwa dalam perkara yang melibatkan hilangnya nyawa akibat tindakan melanggar hukum, keadilan restoratif bukanlah opsi utama. Fokusnya adalah pada penegakan hukum pidana secara tegas, demi memberikan sanksi setimpal dan menjamin efek jera bagi pelaku serta keadilan bagi almarhumah IN dan keluarganya. Publik menanti, apakah tangan hukum di Sumenep akan menjabat keadilan atau justru melipat diri dalam diam?.(R. M Hendra)