Putra Daerah Sumenep Menggugat Nurani Penguasa | Lantunan Kepedihan dari Pulau Raas yang Memburu Janji

oleh -28.759 views

Sumenep I REALITAS  -–  Di tengah heningnya ombak yang membelai pesisir kepulauan Raas, Sumenep, bara perlawanan intelektual berkobar. Ach Supyadi, SH. MH., putra daerah kelahiran pulau Raas yang selama ini terpinggirkan, tampil sebagai representasi otentik kekecewaan mendalam masyarakat kepulauan Sumenep, termasuk Kangean, atas stagnasi pembangunan infrastruktur yang akut. Sentimen primordial yang berakar pada kecintaan terhadap tanah leluhur, kini bertransformasi menjadi retorika tajam yang membombardir kepemimpinan Bupati Achmad Fauzi Wongsoyudo, yang dinilai mengkhianati janji-janji manis kampanye periode sebelumnya.

Alih-alih gentar dengan upaya represif aparat Satpol PP yang meminta mencabut banner kritiknya, sebuah tindakan yang justru memantik antipati publik. Supyadi memilih degan jalur gerilya intelektual yang lebih subtil namun menusuk. stiker-stiker sindiran pedas yang kini menghiasi lingkungan elite Organisasi Perangkat Daerah (OPD) strategis di jantung pemerintahan Kabupaten Sumenep. Disdukcapil, kantor perizinan, Bappeda, hingga markas Satpol PP tak luput dari “sentuhan” protes lingkungan ini, menjadi monumen bisu namun fasih atas pengingkaran janji.

Di pelataran Kantor Pemkab Sumenep, Supyadi dengan intonasi yang sarat akan kekecewaan yang terakumulasi, melukiskan ironi pembangunan yang kasat mata. Narasi pembangunan yang diagungkan hanya menyentuh wilayah daratan, sementara kepulauan dibiarkan terjerembab dalam labirin keterbatasan aksesibilitas. “Kepulauan Sumenep hanyalah komoditas politik sesaat, dimanipulasi retorika elok saat pesta demokrasi tiba, semata-mata untuk meraup suara. Pasca-kontestasi, kami kembali menjadi entitas marjinal, teralienasi dari arus utama pembangunan, terutama dalam hal infrastruktur jalan,” tegas Supyadi, dengan sorot mata yang mengisyaratkan kesedihan mendalam.

BACA JUGA :  Evakuasi dan Identifikasi Jenazah Korban KKB di Yahukimo Tuntas

Keraguan akan komitmen Bupati Fauzi di periode kedua kepemimpinannya pun terlontar tanpa tedeng aling-aling. Janji-janji pembangunan kepulauan pada periode sebelumnya, menurut Supyadi, hanyalah fatamorgana retorika tanpa implementasi substansial. Ia menepis anggapan adanya agenda tersembunyi, menegaskan bahwa aksinya adalah manifestasi kegelisahan seorang anak pulau yang menyaksikan langsung dekadensi infrastruktur di kampung halamannya.

Seruan Supyadi bergema, mengajak aktivis dan elemen masyarakat sipil untuk bersatu padu menuntut realisasi janji pembangunan yang selama ini terabaikan. Pemasangan banner sindiran tajam di berbagai sudut kota, dengan diksi provokatif seperti “Bupati Sumenep, Lihatlah…!!! Banyak Jalan Rusak di Kepulauan, Rusaknya Sudah bertahun tahun Lho…!”, adalah tamparan telak bagi hegemoni pembangunan daratan yang terkesan abai. Ironisnya, kritik pedas ini hadir sebagai “hadiah” pahit di awal periode kedua kepemimpinan Bupati Fauzi wongsoyudo.

BACA JUGA :  Doa Dari Anak-anak SD Torsina Atas Kebaikan Satgas Humas Ops Damai Cartenz

Problem infrastruktur jalan di Kepulauan Sumenep adalah warisan Stagnan yang belum terselesaikan. Kendati Bupati Fauzi acap kali mengakui tantangan ini dan mendeklarasikan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan infrastruktur antara daratan dan kepulauan, realitas di lapangan dan suara lantang Supyadi menguji kredibilitas retorika tersebut. Narasi “pemerataan pembangunan” kini terancam menjadi sekadar Jargon kosong di telinga masyarakat kepulauan.

Aksi Ach Supyadi menjelma menjadi simbol perlawanan intelektual terhadap ketidakadilan pembangunan yang sistemik, sekaligus menjadi teguran keras bagi Bupati Fauzi. Bola kini berada di tangannya. Mampukah ia menjawab tantangan ini dengan aksi nyata yang terukur dan berdampak, ataukah kritik bising dari jantung kepulauan ini akan terus menyala sebagai nuklir dalam kepemimpinannya? Publik menanti substansi, bukan sekadar orkestrasi kata-kata.(R.M Hendra)