Membahas Kontroversi Wacana Poligami

oleh -220.579 views
Dr. Yuni Roslaili, M.A, Dosen UIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh.

Banda Aceh I Realitas – Oleh Dr. Yuni Roslaili, M.A, Dosen UIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh

Isu poligami merupakan isu kontroversial di negara-negara Muslim. Di samping teks Alquran yang membicarakan perihal poligami merupakan ayat mutasyabih, (sehingga kesamarannya dapat menimbulkan tafsiran yang beragam), sebenarnya ada dua kutub pemahaman terhadap lembaga ini. Yaitu, antara pemuja pemikiran Barat yang menolak dengan keras praktek poligami, dan pihak lainnya yang tetap konstan pada tradisi fikih konservatif yang melegalkan praktek poligami. Keduanya ikut memperpanjang tarik menarik pemahaman terhadap isu poligami sampai sekarang ini, termasuk di Aceh.

Kemarin, muncul wacana pelegalan poligami di Aceh dalam pembahasan di DPRA tentang rancangan qanun hukum keluarga yang diusulkan oleh Dinas Syariat Islam. Menurut lembaga ini, usulan demikian dimaksudkan sebagai solusi untuk menghindari praktek poligami liar di Aceh.

Yang perlu kita diskusikan kemudian adalah benarkah melegalkan praktek poligami menjadi satu-satunya solusi bagi masalah praktek nikah sirri di Aceh? Sebab, berdasarkan data lapangan angka perceraian di Aceh akhir- akhir ini meningkat secara signifikan, dan gugatan perceraian tersebut kebanyakan diajukan oleh pihak perempuan.

Hal mana di antara sebab yang menjadi alasannya, selain masalah nafkah dan kekerasan dalam rumah tangga, adalah karena suami melakukan praktek poligami.

Teks terkait poligami
Argumentasi yang sering dijadikan dasar bagi kebolehan poligami dalam Islam adalah firman Allah SWT: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. ( Q.S 4:3)

Bertitik tolak dari teks ayat ini, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melarang seorang pria menghimpun lebih dari empat orang istri pada saat yang sama, dimana saat ayat itu turun, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan setiap pria yang memiliki lebih dari empat orang istri agar segera menceraikan istri-istrinya, sehingga maksimal seorang pria hanya memperistrikan empat orang wanita.

Ketentuan ini ditegaskan melalui ucapannya: Kami diberikan oleh Yahya ibn Hakim, kami diberikan Muhammad ibn Jafar, kami diberikan Mu’amar dari al-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk Islam dan dia memiliki 10 istri, maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ambillah dari mereka (istri-istrimu) empat orang”. (H.R Malik, Al-Nasai dan Al-Daraquthni).

BACA JUGA :   Pemilik Akun Facebook Bodong Divonis 1,8 Tahun Penjara

Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat. Hal ini dapat dilihat kasus Ghailan ibn Salamah dan kasus Nawfal bin Mu’awiyah. Karena itu dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa meskipun menggunakan dalil yang berbeda para ulama tradisional tersebut mengakui bolehnya poligami.

Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa ada sejumlah nash yang berhubungan dengan poligami yang dicatat para ulama madzhab, yaitu: al-Nisa: 3, al-Nisa 129,al-Ahzab: 50, al-Mu’minun: 5-6, adanya ancaman bagi suami yang tidak adil kepada isteri-isterinya, dan kasus Ghailan seorang laki-laki yang masuk Islam dan disuruh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam untuk mempertahankan isterinya maksimal empat. Kesemua nash inilah yang membahas tentang poligami.

Penafsiran poligami
Secara tekstual, ayat-ayat dan hadits di atas merupakan dasar hukum kebolehan berpoligami. Namun seperti dijelaskan M. Quraish Shihab, makna ayat tersebut sering disalahpahami. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ayat itu turun menyangkut sikap sebagian orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik dan berada di dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberikannya maskawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. (M. Quraish Shihab, 1997).

Dalam hal ini Amina Waduud mengatakan bahwa surat al-Nisa’ ayat 3 tersebut merupakan solusi tepat agar para pengelola harta anak yatim tidak terjebak pada perbuatan tidak adil, dengan cara ingin menikahi anak yatim tersebut. Jadi, jelaslah bahwa ayat itu turun dalam konteks keadilan dalam mengelola harta anak yatim dan keadilan kepada para istri di mana rasio janda dan anak yatim meningkat sebagai akibat dari kekalahan perang. (Amina Waduud, 1994).

Di sisi lain, dipahami indikasi bahwa kebolehan berpoligami sangat sulit diprektekkan karena tidak semua pria dapat memenuhi persyaratan keadilan sebagaimana ditegaskan Alquran: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. (Q.S 4:129).

Fenomena dua ayat inilah yang oleh Leila Ahmed dipersepsikan sebagai sikap ambiguitas dan kompleksitas instrinsik dalam ayat poligami. Di satu sisi, Alquran memberi peluang bagi poligami, jika merasa mampu berbuat adil, sementara di sisi lain sekaligus mendeklarasikan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil, di mana ketidakmampuan tersebut diformulasikan dalam bahasa Arab (menggunakan kata “lan”) yang mengindikasikan sebuah ketidakmungkinan yang permanen (Leila Ahmed, 1992).

Semangat inilah sebenarnya, menurut Fazlur Rahman yang menyusuti negara-negara Muslim dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya.

Solusi paling tepat yang bisa diterima semua kalangan, masih menurut Rahman adalah sebenarnya Alquran dalam hal poligami berbicara dalam dua level, pertama: legal level, di mana poligami terbatas (sampai empat) dibolehkan, dan kedua: moral level, di mana Alquran kelihatannya menginginkan agar masyarakat bergerak dalam diskursus waktu itu. (Fazlur Rahman, 1980).

BACA JUGA :   Prediksi Kawasaki vs Tokyo, J-League 30 Maret 2024

Dari berbagai pendapat–baik yang secara eklektik membolehkan maupun yang secara eksterm melarang–dapat diambil satu pemhaman bahwa masalah poligami memang masalah yang harus disepakati posisi hukumnya yang kontroversi. Dengan demikian adanya dua kutub pemahaman memang tidak dapat dihindarkan.

Namun demikian, sebenarnya ada tiga aspek penting dalam menafsirkan suatu teks (nash), yaitu: Pertama, dalam kontek apa teks itu ditulis (jika dikaitkan dengan Alquran maka kita harus melihat dalam konteks apa ayat poligami itu diturunkan). Kedua, bagaimana komposisi bahasa teks tersebut diungkapkan, dan Ketiga, bagaimana keseluruhan teks yang ada terkait kasus yang sama.

Dari berbagai pendapat kontroversi, dapat dipahami bahwa Alquran hanya membolehkan poligami dalam kondisi tertentu sebagai solusi untuk mengatasi kebuntuan kehidupan keluarga. Dalam kondisi seperti ini, poligami merupakan solusi ideal, namun hal itu sangat tergantung pada pertimbangan setiap muslim.

Artinya, seseungguhnya poligami tidak merupakan anjuran bagi seorang Muslim apalagi perintah, mengingat pada ayat-ayat lain Allah juga menjelaskan tujuan dari sebuah pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (Q.S 30: 21, 7:189 dll). Artinya, jika dengan melakukan poligami nyatanya dapat menghancurkan kebahagian keluarga yang telah ada, tentu bukan demikian maqashid syariahnya.

Di sisi lain, sejarah juga mencatat bahwa mayoritas kitab tafsir merupakan produk wacana ulama pria tempo dulu, sehingga diduga memberikan bias bagi kaum perempuan. Karena itu, reinterprestasi ulang dengan melihat kembali kepada sejarah sangat diperlukan guna memeriksa teks-teks agama dan dokumen-dokumen fikih secara lebih kritis dan objektif.

Selain itu, mungkin perlu juga diingat uswah hasanah yang terjadi pada diri Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bahwa praktek poligami terjadi setelah 23 tahun Rasulullah dalam kondisi monogami yaitu setelah wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha, istri pertama beliau.

Dalam konteks ini, sebagimana dikatakan Fazlurrahman, tidak seharusnya kita hanya berdiri di posisi legal standing,–apalagi secara hukum dalilnya masih ada penafsiraan yang beragam–namun hendaknya juga mempertimbangkan sisi moral standing terhadap kondisi batin istri pertama.

Terkait wacana melegalkan poligami di Aceh demi menyelesaikan masalah poligami liar (nikah sirri), kiranya perlu ditelaah kembali. Sebab, kesimpulan demikian seharusnya berdasarkan penelitian lapangan dan kajian ilmiah, jangan sampai terjadi ingin menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain yang lebih besar. Wallahu A’lam.(Tribun/Nrl)